Tag Archives: passion

Creme brulee

Creme brulee means ‘BURNT cream’. You can make it from the best of ingredients. But if they are not burnt with a torch, then it is not creme brulee. Somewhat the same as your passion. You can have the best of ambitions, but if they are not burned with desire, then it is not passion.

This image is taken from http://en.gourmetpedia.com/

Karaoke

Umurnya sudah tidak terlalu muda. Tidak muda, jika batas mudanya seorang wanita adalah 35 tahun. Dora namanya; sebuah nama yang tidak terlalu ia sukai, terutama sejak duabelas tahun terakhir, saat sebuah filem kartun anak-anak menggunakan nama itu sebagai nama tokoh utamanya. Ia membayangkan bahwa jika seseorang sekarang mendengar namanya disebut atau menyebut namanya, maka yang pertama terlintas dalam benak mereka adalah gambar si karakter kartun tadi.

Sudah tigabelas tahun terakhir ia merasa hidupnya terombang-ambing. Antara ada dan tiada. Ada, berbagai rutinitas yang membuatnya lintang-pukang setiap hari. Namun tiada tujuan. Tiada makna. Begitu selesai kuliah dan masuk ke dunia kerja, ia merasa hidupnya melompong. Seperti setangkup kulit kacang; kosong dan kering setelah ditinggalkan isinya.

Seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Ia tak tahu apa namanya. Ia hanya tahu dari berbagai isyarat tak enak yang digeletarkan oleh tubuhnya bahwa apapun yang sedang ia jalani sekarang bukan sesuatu yang ingin ia lakukan dengan hidupnya. Orang-orang menyebutnya ‘gairah’. Ada yang menyebutnya ‘semangat’. Tapi bukan itu. Bukan itu tepatnya yang menghilang dari kesehariannya.

Sudah lima belas tahun ia bekerja, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Bukan mencari sesuatu yang hilang itu. Bukan. Ia tahu sesuatu ‘itu’ tak akan ia temukan selama ia masih mengerjakan yang ia kerjakan. Ia berpindah semata karena yakin, yah – separuh yakin, bahwa dengan berpindah ia akan bisa menghapus sedikit jejak rasa kehilangan itu dengan imbalan uang yang sedikit lebih besar.

Tapi toh akhirnya akan sama saja. Setelah beberapa bulan di tempat yang baru, ia merasa semakin tersesat. Ingin pergi, tapi tak ingin pergi. Ingin lari, tak tak mau lari.

Maka ia putuskan untuk tidak mengambil keputusan.

Suatu hari, suatu sore yang tidak istimewa. Ia duduk di ruangan kantornya yang tidak istimewa. Memandang dengan kening berkerut pada sebuah diagram di hadapannya. Ia membenci diagram-diagram seperti ini, gambar-gambar kecil yang tidak ia mengerti, yang memaksanya duduk diam berpikir dan pada akhirnya hanya memperdalam rasa tidak percaya dirinya. Setelah beberapa menit, ia menyerah, melemparkan pena di tangannya dengan putus asa ke atas meja kerjanya.

Ia melirik jam tangannya. Sudah lewat waktu pulang, dan ia masih berkutat dengan diagram itu. Langit malam merangkak masuk melalui celah-celah jendela.

Seorang pria, teman kantornya, mengetuk pintu ruangannya. Ia tersenyum kecil, memberi temannya isyarat untuk masuk.

“Bu, tolongin gue dong,” temannya tersenyum. Senyuman yang biasa disunggingkan oleh orang-orang yang butuh bantuan di saat-saat terakhir.

“Ada apa?” sahut Dora, tak bersemangat.

“Malem ini gue nggak bisa nemenin orang-orang itu, Bu.. Gue ada acara.”

“Waduh.. ya gue juga nggak bisa dong. Masak gue yang nemenin?”

“Ada Pak Toro, kok,” lanjutnya. “Lo tinggal dateng aja sebentar, pastiin semuanya terbayar.”

Ia melenguh kesal. “Kenapa nggak Pak Toro aja yang bayarin dulu terus klaim balik ke kita? Jadi kan gue nggak harus ke sana.”

“Nggak bisa, Bu. Kali ini bujet Pak Toro nggak diappove sama bossnya. Jadi harus kita yang tanggung.”

“Ya kalo gitu besok aja lah, pas elo bisa.”

“Waduuh.. itu kastemer udah bolak-balik reschedule terus, Bu. Kalo dijadwal ulang lagi, gue takut mereka keburu kabur…”

Dora membuang nafas panjang, sengaja lebih keras dari biasanya, menunjukkan keberatannya terang-terangan. Aroma kekesalannya menggulung-gulung di ruangan kecil itu.

——-

Jam delapan, malam itu. Sebuah mobil hitam meluncur masuk ke dalam pekarangan panjang sebuah gedung berkelip yang penuh ditumbuhi pohon palem. Mobil itu berhenti di depan lobi yang ditunggui sepasang pemuda pribumi berpakaian gaya seribu-satu-malam, dengan sepatu lancip dan sorban emas. Dora memperhatikan semua itu dari balik jendela mobilnya, dan mengeluh dalam hati. Selintas terbayang betapa akan senangnya kedua anak balitanya jika melihat pemandangan ajaib yang disajikan dua pemuda itu.

Sesaat terbersit pikiran untuk menepuk pundak sang supir dan mengajaknya menjauh dari sana, namun ia urungkan. Ia minta sang supir menunggunya. Lalu dengan enggan, ia buka pintu mobilnya. Perlahan menaiki tangga menuju lobi.

Kedua pemuda tadi menatapnya dengan pandangan aneh. Namun, dengan gaya sopan yang berlebihan, salah satu dari mereka mengantarkannya masuk lebih dalam. Lagu gurun pasir menyambutnya. Bau sesak dari puluhan batang rokok yang menyala menyekat tenggorokannya.

Dora mengedarkan pandang sekilas ke sekeliling area lobi yang ia lewati. Beberapa lelaki paruh baya sedang berkumpul di salah satu meja di sudut, berlomba mengepulkan asap rokok ke udara sembari tertawa lepas. Selarik asap tipis menggantung melapisi langit-langit. Di tengah ruangan, di atas sesuatu yang nampak seperti podium kecil, bertahta sebuah bangku panjang berkain keemasan, yang dipenuhi bantal merah dan hitam dalam berbagai ukuran. Seorang lelaki tua, ternyata teman rombongan pria yang tadi, sedang tergolek di atasnya, tertawa-tawa. Dua gadis dengan kostum penari perut dan cadar tipis sedang mengipasinya dengan kipas besar dari bulu sintetis berwarna ungu cerah. Dora mengalihkan pandang. Bukan karena jengah. Tapi lebih karena khawatir akan menyesal jika melihat wajah yang ia kenal di antara para pria itu.

Di sepanjang lorong, ia berpapasan dengan beberapa wanita dengan kostum yang sama. Semuanya bercadar. Semuanya  mengenakan celana gembung dan sepatu lancip keemasan. Semuanya  menampakkan sedikit kulit di dada dan perut. Semuanya berambut dengan poni. Ia menghembuskan nafas diam-diam, menggerutu dalam hati menyesalkan betapa miripnya rambut mereka dengan rambut tokoh kartun yang menyandang namanya.

Pemuda bersorban tadi mundur dengan sopan setelah menghantarnya ke depan pintu yang dimaksud. Setengah berteriak, Dora memintanya kembali, memohon untuk memanggilkan orang yang dicarinya yang ada di dalam ruangan tertutup itu.  Kami tak bisa mengganggu privasi tamu, Ibu, tolaknya halus dengan senyum manis yang entah kenapa membuat Dora merasa tersinggung. Silakan ditekan saja belnya, ujarnya dengan kesopanan palsu, mengulang instruksinya tadi, sambil sekali lagi menunjuk bel  di pintu dengan ibu jarinya.

Sekali. Dua kali. Seseorang mengintip dari kaca kecil bulat yang ditempel di tengah-tengah pintu. Dora membuang wajahnya dengan gaya menyebalkan. Seorang lelaki kecil berkacamata, dengan rambut yang menipis di atas dahi, dan pipi yang sedikit bergelambir, melongokkan kepalanya, sedikit terengah. Suara beberapa pria yang sedang menyanyi ke dalam sebuah mikrofon menyelinap dari sisi-sisi pintu. Sumbang. Terdengar cekikik geli dari beberapa wanita muda.

Dora mengulurkan selembar amplop coklat yang agak tebal pada lelaki kecil itu. “Tolong tanya sama boss kamu, komisi sepuluh persennya dikemanain aja?”

Lelaki itu tersenyum lebar. Giginya yang menghitam karena racun tembakau berjajar rapi. “Yah, jangan galak-galak Bu, nanti situ saya bagi juga deh”, candanya sambil menutup pintu bersamaan Dora  memutar badannya pergi. Dari dalam, terdengar seseorang berteriak parau, Udaaaah, lanjutin di kamar mandi sanaaaa…, yang disambut pekikan kecil seorang wanita.

Sambil bergegas menjauh, Dora membetulkan posisi tas cangklong di pundaknya. Ia hampir bertumburan dengan seorang pria. Wajah pria itu yang ia kenal baik membuatnya hampir saja tersenyum sopan. Refleks bersiap menyapa, saat ia ingat bahwa ia seharusnya ‘tak kenal’ siapa pun di situ. Pria tadi bersikap seakan tak melihat Dora atau mengenalnya, dan bergegas menyusup melalui pintu ruangan tadi, setelah menekan belnya cepat berkali-kali.

Duduk kaku di jok belakang mobilnya, Dora menunduk memegangi telepon genggamnya yang bercahaya redup di kegelapan. Suaminya. Meneleponnya lagi. Tadi ada panggilan masuk yang beberapa kali terabaikan olehnya. Ya Sayang.. jawabnya lembut. Habis meeting. Maaf ya.. 

Dora menempelkan telinganya di telepon itu dalam diam, mendengarkan tanpa kata, lelah. Matanya kosong menatap punggung kursi di depannya. Di seberang telpon, ia bisa mendengar suara bayinya yang menangis hilang timbul di sela-sela pertanyaan cemas suaminya. Wajah pria yang berpapasan dengannya tadi berkelebat di  matanya.

Ia kenal istri pria itu. Ia kenal anak-anaknya. Anak-anak pria itu bersekolah di sekolah yang sama dengan anak sulungnya. Istrinya mengaji di pengajian yang sama dengan mertua Dora. Dora tak terkejut, ia tahu sejak awal siapa dan bagaimana pria itu. Tapi melihatnya di tempat tadi, mengkonfirmasinya secara langsung, membuat kaki Dora lemas. Seakan sebuah simpul besar yang berpusat di perutnya menarik lepas otot-otot kakinya. Wajah sederhana seorang wanita cantik dengan hidung mancung, berkerudung sedikit acak-acakan, melintas berganti. Wajah istri pria itu.

Saat merebahkan dirinya di tempat tidur malam itu, memeluk perut bayinya yang turun naik dengan irama yang teratur, menghirup harum rambut halusnya yang tanpa dosa, Dora diam-diam menangis. Sebuah buku kecil, belum terjamah, masih dalam bungkus plastik toko, ditumpuk paling atas di meja sebelah tempat tidurnya. Rapi. Berdebu. Lampu kamar yang temaram menjatuhkan sinarnya dengan lembut di atas plastik buku itu, memantul sehingga tulisannya yang hitam tebal terbaca: Your Job is NOT Your Career.

Sebelum jatuh tertidur, ia teringat bahwa esok pagi, pukul 9, ia sudah harus mengirimkan revisi diagram tadi siang yang sama sekali belum sempat tersentuh.

Depok, pertengahan Maret 2011

A milestone is achieved

Today is my husband’s last day in the corporate world. He decided to pursue his dreams – as I believe he has many – and those dreams would not be achievable remaining the level he was on.

I am glad he took the decision; I have been and will always be supporting his life choices. I sincerely trust he knows what’s best for him and the family. And am really excited to be spending more time with him.

Am I nervous? Oh trust me; very.

Is it going to be challenging? Definitely.

Will it be shakey? I hope not.

But will we be happier? Positively.

Because what could be happier than being on your achievement path, accomplishing dreams after dreams. What could be more pleasurable than ‘being’. Being your own self, being contented in what you appreciate the most. Being in the direction of your own life’s purpose. It’s like you going some place beautiful but the scenery along the way is just as worthily-breathtaking.

So, congratulations, Dear Husband. It’s the start of a yet another wonderful journey.

http://muadzin.wordpress.com/2011/06/30/102/

Ketika anak harus memilih, orang tua ngapain ya? (Catatan lama dari Tumblr)

Anda kenal Anindyo Baskoro, atau paling tidak pernah dengar namanya? Kalau saya sebut nama Ninok, penyanyi utama grup musik RAN, pasti tau dong ya. Kebetulan saya dan suami mengenal anak multi talenta ini secara pribadi. Terlepas dari kebanggaan saya akan kenyataan ini, cerita ini bukan untuk membanggakan itu.  Saya ingin cerita tentang orang tuanya.

Mereka kami kenal dari sebuah bisnis network marketing, belasan tahun yang lalu. Bisnisnya sendiri ternyata memang bukan untuk kami, walaupun sempat kami jalankan beberapa tahun. Bukan karena bisnisnya tidak bagus, tapi kami yang memang kurang berdeterminasi. Namun, hasil paling berharga dari bisnis tersebut, yang sampai saat ini masih kami syukuri adalah diberikannya kami kesempatan untuk mengenal pasangan ini.

Dari mereka berdualah kami diperkenalkan pada banyak hal baru. Tempat-tempat kuliner (dari yang murah sampai yang mahal, walaupun lebih sering mahalnya hehehe..), tempat berbelanja murah meriah, tempat berbelanja mahal, cara memperlakukan asisten rumah tangga supaya karirnya bisa berumur tahunan, bengkel cat berkualitas, berbagai agen jasa, tempat-tempat kuliner (lagi)…. Pokoknya luar biasa banyaknya referensi dan pengalaman kedua pasangan ini yang kami serap bertahun-tahun.

Namun yang paling kami syukuri dari perkenalan ini adalah bergesernya paradigma kami tentang menghargai preferensi anak dalam pemilihan karirnya. Pak Agung dan Ibu Sita, nama sahabat kami ini, adalah satu dari tak banyak orang yang kami kenal yang sangat menghargai pilihan anak-anaknya. Dan tidak hanya menghargai; mereka mendukung, memfasilitasi, membuka jalan. 

Ninok kecil yang kami kenal senang sekali menggambar. Apa saja. Hanya dengan melihat coretan isengnya, mata awam saya bisa tau bahwa ia memang sangat berbakat. Begitu mengenal komputer, bakatnya berkembang ke arah desain grafis. Ia mengadopsinya cepat luar biasa.

Bapaknya, tanggap terhadap potensi anaknya, segera mencarikan sekolah grafis terbaik. Bukan yang ada di Indonesia, tapi sekolah terbaik di Asia Tenggara. Kebetulan berlokasi di negeri tetangga. Pada saat itu, mereka sudah bersiap, mental dan materi.

Di tengah persiapan itu, Ninok mengubah haluan. Ia mendapatkan pengalaman spiritual saat salah seorang rekan sekelasnya berpulang dalam sebuah kecelakaan mobil, dan tiba-tiba naluri bermusiknya terpantik. Ia ciptakan sebuah lagu untuk almarhumah gadis ini. Bapaknya, di luar segala usahanya mempersiapkan Ninok di jalur seni yang berbeda, membantu merekamkan lagu ini di sebuah studio rekaman, lalu mempublikasikannya di kalangan terbatas. Ternyata animonya luar biasa.

Setelahnya, Ninok menambah daftar lagu ciptaannya. Ia pun mulai mewacanai pendirian sebuah grup musik dengan kedua temannya.

Mungkin mencoba peruntungannya, juga sebagai back-up plan seandainya rencana membangun grup musik itu tinggal rencana, bapaknya mengantarkan Ninok ikut audisi sebuah ajang adu bakat menyanyi. Ia tidak lulus. Kejadian itu membuat Ninok semakin fokus dengan grup musiknya.

Saya ingat sekali saat demo album mereka baru rampung. Saya duduk dipisahkan beberapa meja saat pasangan suami istri ini sedang bernegosiasi dengan manajer seorang penyanyi pop senior. Manajer itu ingin seluruh lagu di album itu dinyanyikan oleh penyanyi yang ia wakili. Pak Agung dan Ibu Sita bersikukuh bahwa kumpulan lagu itu ingin dinyanyikan sendiri oleh anaknya. Saya ingat keraguan yang saya sampaikan kepada suami saya, saya pikir mungkin Pak Agung dan Ibu Sita berkeras di tempat yang salah.

Saya tidak tau statistik kesuksesan penjualan album RAN, tapi saya yakin angkanya pasti luar biasa. Yang saya tau adalah bahwa orang tuanya sekarang sangat bersyukur pernah tidak menyerah pada cita-cita anaknya, dan berusaha ikut mewujudkan keindahannya.

Baru malam ini Alayka berkata tanpa saya tanya bahwa ia ingin jadi dokter hewan. Saya tersenyum kecil dan berkata, apapun cita-cita kamu, Nak, akan Ibu dukung. Kami akan hargai bahkan jika kelak nuraninya memanggilnya berkarya di bidang seni, bidang yang asing bagi kami. Tapi tidak hanya akan kami hargai; inshAllah cita-citanya akan kami dukung, fasilitasi, dan bukakan jalan.

Depok, 4 Desember 2010