Film Pendek – 10 Gram

Copyright @Scenepique

Jadi beberapa hari yang lalu saya baru aja ngobrol sama partner bisnis saya, @Leon Harita, tentang prospek bisnis streaming pascapandemi. Pandemi mungkin memang nggak terlalu ramah pada banyak bisnis. Tapi streaming film adalah salah satu bisnis yang justru meningkat pesat karena pandemi.Coba lihat Netflix, yang dalam 3 bulan sejak pandemi telah berhasil menggaet paling nggak 16 juta pelanggan baru (https://www.bbc.com/news/business-52376022). Disney, yang baru beroperasi sekitar 9 bulan, sekarang udah punya 60 juta pelanggan (https://www.nytimes.com/2020/08/04/business/media/disney-earnings-coronavirus.html).

Buat saya dan temen-temen yang memang udah berkecimpung di bisnis ini, ini udah pasti kabar gembira dong. Tantangannya: pemain besarnya cuma 2: Netflix dan Disney. Pemain lain yang beroperasi di Indonesia, kayak Viu, Maxstream, GoPlay, Vidio, MNC, Vision+, iflix, Genflix, CatchPlay, KilkFilm, dsb, bukan (atau belum jadi) lawan yang setara buat 2 raksasa tadi.

Lawan setara mereka sebetulnya cuma Google, dengan Google Play. Kalau pengguna Android di seluruh dunia dikasih program bundling film di hape mereka masing-masing, kebayang nggak gimana kewalahannya Netflix dan Disney? Untungnya, Google masih fokusin investasi mereka ke Youtube Premium. Jadi Netflix sama Disney punya kesempatan buat buru-buru menguasai pasar dunia.Itu baru Google. Kebayang nggak kalo Amazon, marketplace segede itu, fokus jualan Amazon Prime ke seluruh dunia? Atau kalau Alibaba bikin Alibaba Movies. Semua bisa nikmatin film murah (atau gratis) kalo jadi pengguna Tokopedia, misalnya. Kelimpunganlah Netflix dan Disney yang bisnis utama (dan satu-satunya) emang cuma jualan film. Ini dia salah satu alasan yang bikin Disney buru-buru majuin tanggal launch-nya di Indonesia; yang tadinya tahun depan, dimajuin ke minggu depan.

Berita baiknya, berarti perusahaan streaming ini bakal butuh kerja sama dengan rumah produksi lokal dong supaya suplai kontennya aman. Nah tapi, di awal-awal, perusahaan produksi gede kayak MD Pictures, Starvision, Rapi Film, Multivision Plus, Screenplay dll udah pasti akan dikasih kesempatan lebih dulu dibanding perusahaan produksi yang lebih kecil. Dan ini wajar banget. Perusahaan gede ini kan punya kapital yang memadai buat bikin skala produksi yang sesuai.

Tapi, buat pemilik PH yang skalanya lebih kecil, jangan cemas wahaiii teman-teman. Pandemi ini telah mengubah cara kita menonton. Pelan-pelan kita bakal terbiasa nonton dari rumah, nonton film apa aja yang kita mau. Bisnis jualan home theater mungkin akan naik lagi. Konten bakal terus dibutuhin. Dan nggak semua konten itu bakal bisa ditangani pemain yang itu-itu aja. Bakal bermunculan streaming platform lain yang memfasilitasi pasar terbatas. Kalo di China, ada Kekeyi –eh, maksud saya – Iqiyi; platform khusus film Mandarin, yang filmnya mungkin tayang cuma di situ. Tapi, jumlah pelanggannya: 119 juta aja dong! (https://traderscommunity.com/index.php/stocks/earnings-reports/2069-iqiyi-subscriber-base-grows)

Jadi saya dan Leon optimis banget bahwa pintu masih kebuka lebar banget. Makanya kami beraniin diri bikin usaha rumah produksi kami sendiri. Ini trailer karya pertama kami. Nggak ada Bu Tejo di sini. Adanya Mbak Dinia. Dan ini nggak pake Bahasa Jawa. Pakenya bahasa cinta. Ea-ea-eaaaaa.

Cerita Dokter Cinta

Dari semua cita-cita yang umum disebut oleh anak-anak SD seumur saya saat itu (Iyaaa-iyaaa, saya anak tahun 80-an), profesi dokter adalah salah satu yang paling sering disebut, selain insinyur dan pilot. Tapi, teman seangkatan saya yang akhirnya beneran jadi dokter, seinget saya sih, nggak sampai 10 orang. Dan saya beneran salut sama mereka. Istiqomah, gitu lho.

Makin tua dunia (Iyaaa-iyaaa, saya yang makin tua), ketika makin banyak jenis profesi penghasil uang yang kelihatan lebih edgy dan cool (macam jadi youtuber, travel vlogger, celebrity chef, game developers, dsb), tapi masih banyak anak muda yang istiqomah menjalankan profesi yang setiap hari berhubungan dekat sekali dengan kematian ini, saya makin salut. Udah sekolahnya susah, lama, mahal, makan hati, gak sempet nyari jodoh, eh giliran sakit, nggak bisa juga ngobatin dirinya sendiri.

I salute you, young doctors. Semoga selalu inget bahwa, dalam profesi apa pun, uang bukan yang utama. Yang utama itu uang yang banyak. Eh salah ya.
Yang di foto itu, ceritanya lagi jadi calon dokter umum dan calon dokter spesialis.

Dokter yang berdiri paling kanan namanya Dokter Ryan. Selain spesialis obgyn, dia juga spesialis patah hati. Spesialis matahin hati, tepatnya. Huehe.

Kalo saya, pasiennya. Uwuwuwuwuwuwww.

Maret 18, 2019

Trailer Series Negeri 5 Menara

Semalam, saya dikirimi trailer ini oleh Mas @rekawijayakusuma, sutradara serial Negeri 5 Menara, (dari novel mega best seller karya Uda @afuadi). Dan setelah saya tonton, saya langsung balas pesan Mas Reka dengan, “Mas! You escalated the script to a whole new level.” Ini pertama kali saya kerja bareng Mas Reka, juga pertama kali nulis bareng Mas @anggorosaronto. Dan saya belajar banyak banget dari dua-duanya; Mas Reka sebagai sutradara yang khatam bikin webserial, dan Mas Anggoro yang pengalaman nulis serialnya udah gak bisa diitung jari tangan dan kaki orang se-RT. Hehehe.

Kalau Mas Aang udah saya kenal lama, jadi saya udah gak heran lagi sama prestasinya. Tapi Mas Reka baru saya kenal kali ini.

Aslik sutradara ini cadas banget. Syutingnya kan di 3 tempat: Jakarta, Maninjau, dan London (dengan urutan seperti itu). Beberapa hari menjelang syuting di Jakarta, pemain utama cewek diganti. Saat syuting udah jalan pun, artis penggantinya tetep belum pasti. Tapi Mas Reka tenang dan solutif banget. Beliau tetep lanjut syuting dengan ngakalin di sana-sini.

Sehari sebelum syuting KE LONDON (!), dipastikan salah satu pemain utama gak dapet visa! Gak cuma itu. Sinematografernya pun gak dapet visa. Dan itu kondisi luar biasa, karena sinematografer (atau lazim dikenal sebagai DOP atau Director of Photography) adalah orang nomor dua di lapangan, setelah sutradara.

Tapi toh syuting di London tetep jalan. Mas Reka jadi sutradara yang merangkap nulis ulang skenario sekaligus jadi sinematografer sekaligus jadi entah apa lagilah.

Dan sempet-sempetnya lho semalem dia bilang, “For better or worse, gue harus kasih yang terbaik buat elo yang udah capek-capek nulis buat kita.” Padahal, saat masih dalam bentuk tulisan mentah pun, beliau juga banyak banget kasih masukan. Jadi serial ini, selain hasil pikir para penulis, sebagian ya buah ide dia juga.

Saya kagum sama sikap cowok cadas satu ini. Dia contoh nyata buat saya bahwa masalah itu, seberat apa pun, datang untuk dicarikan solusi. And for that (amongst many other reasons), Mas, i thank YOU.

Oh ya. Serial Negeri 5 Menara akan tayang hanya di @maxstream.tv setiap jam 17 selama Ramadhan. Install aplikasinya ya.

April 27, 2019

Menulis dan Hukum Pareto

Saya baru menekuni kegiatan menulis sejak 7 tahun lalu. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penulis-penulis yang lebih muda tapi sudah menuliskan keresahannya sejak ia bisa menulis.

Tapi kemarin, saat saya melihat-lihat lagi perjalanan saya sejak 7 tahun lalu melalui folder khusus di laptop saya (yang dibelikan Pak Muadzin Jihad 5 tahun lalu #kodekerasbanget), saya baru sadar bahwa ternyata tulisan saya udah banyak juga.

Lalu saya hitung, berapa banyak sih yang akhirnya jadi naskah novel atau naskah film? Ternyata hanya 20%.

Sisanya? Ya belum jadi apa-apa. Ada yang sudah selesai tapi nggak jadi diproduksi. Ada yang selesai pun belum. Ada yang hanya sebatas ide. Bahkan ada yang sebagai ide pun belum selesai. #nasib

Itulah Hukum Pareto: dari 100% upaya kita, hanya 20% yang menghasilkan. Sisanya kemungkinan besar jadi sampah. Tapi sampah pun bisa didaur ulang, kan. 😆

Apakah saya menyesali yang 80% itu?

Pertanyaan yang lebih tepat sebenarnya adalah: gimana caranya menyesali sunatullah? Hukum Pareto itu cuma merumuskan hukum alam. Semacam Newton merumuskan gravitasi; dirumuskan atau nggak pun, apelnya akan tetap jatuh ke bumi pada saatnya. Pada detik yang telah dituliskan di lauhul mahfudz.

Saya pernah didongengkan guru saya, Ki Herman Janutama, kisah kocak seorang sufi bernama Abu Nawas. Mohon teman-teman meralat jika kisah ini keliru saya pahami.

Kisahnya seperti ini. Abu Nawas kebingungan mencari uangnya yang hilang. Ia terus mencari di satu tempat, tapi kok tetap nggak ketemu. Satu per satu orang yang lewat ikut membantu. Tapi tetap nihil.

Akhirnya, salah satu dari mereka bertanya: Wahai Kyai Nawas, memangnya uangnya hilang di mana? Dan Abu Nawas menjawab: Tadi sih di sana.

Orang-orang itu bingung. Lho? Kalo hilangnya di sana, kenapa dicari di sini? Dan Abu Nawas menjawab lagi dengan gayanya yang slenge’an: Ya di sana kan gelap. Di sini terang.

Filosofi cerita itu ternyata ya Hukum Pareto tadi. Jalanin aja 100%-nya. Penuhi aja dulu sunatullahnya. Mau dicari seseksama apa pun di tempat gelap itu, kalau belum waktunya uang itu diketemukan, ya nggak akan ketemu.

Segala yang kita dapatkan ini sejatinya hanya diberikan. Bukan diraih. Kelihatannya aja kita sibuk meraih sana-sini. Tapi kalau Allah masih bilang “Entar dulu ye”, usaha kita kayak nggak ada hasilnya. Dan akan selamanya tanpa hasil kalo kita berhenti sebelum sunatullahnya terpenuhi.

Gimana kita tau apakah usahanya udah cukup apa belum? Kecuali kita punya akses langsung ke lauhul mahfudz, ya wallahualam. Tapi saya sering teringat kisah ini. #ehkokkisahlagi

Ada seorang dukun hujan suku Indian yang tariannya selalu berhasil memanggil hujan. Saking canggihnya, beliau dapet job terus. Kalo di dunia film nih, istilahnya: dapet kolingan terus.

Suatu hari beliau ditanya sama kompetitornya: Chief, what is the ultimate secret?

Dan dia menjawab …

“It is simple. I just dance until it rains.”

Lalu saya hitung, berapa banyak sih yang akhirnya jadi naskah novel atau naskah film? Ternyata hanya 20%.

Sisanya? Ya belum jadi apa-apa. Ada yang sudah selesai tapi nggak jadi diproduksi. Ada yang selesai pun belum. Ada yang hanya sebatas ide. Bahkan ada yang sebagai ide pun belum selesai. #nasib

Itulah Hukum Pareto: dari 100% upaya kita, hanya 20% yang menghasilkan. Sisanya kemungkinan besar jadi sampah. Tapi sampah pun bisa didaur ulang, kan. 😆

Apakah saya menyesali yang 80% itu?

Pertanyaan yang lebih tepat sebenarnya adalah: gimana caranya menyesali sunatullah? Hukum Pareto itu cuma merumuskan hukum alam. Semacam Newton merumuskan gravitasi; dirumuskan atau nggak pun, apelnya akan tetap jatuh ke bumi pada saatnya. Pada detik yang telah dituliskan di lauhul mahfudz.

Saya pernah didongengkan guru saya, Ki Herman Janutama, kisah kocak seorang sufi bernama Abu Nawas. Mohon teman-teman meralat jika kisah ini keliru saya pahami.

Kisahnya seperti ini. Abu Nawas kebingungan mencari uangnya yang hilang. Ia terus mencari di satu tempat, tapi kok tetap nggak ketemu. Satu per satu orang yang lewat ikut membantu. Tapi tetap nihil.

Akhirnya, salah satu dari mereka bertanya: Wahai Kyai Nawas, memangnya uangnya hilang di mana? Dan Abu Nawas menjawab: Tadi sih di sana.

Orang-orang itu bingung. Lho? Kalo hilangnya di sana, kenapa dicari di sini? Dan Abu Nawas menjawab lagi dengan gayanya yang slenge’an: Ya di sana kan gelap. Di sini terang.

Filosofi cerita itu ternyata ya Hukum Pareto tadi. Jalanin aja 100%-nya. Penuhi aja dulu sunatullahnya. Mau dicari seseksama apa pun di tempat gelap itu, kalau belum waktunya uang itu diketemukan, ya nggak akan ketemu.

Segala yang kita dapatkan ini sejatinya hanya diberikan. Bukan diraih. Kelihatannya aja kita sibuk meraih sana-sini. Tapi kalau Allah masih bilang “Entar dulu ye”, usaha kita kayak nggak ada hasilnya. Dan akan selamanya tanpa hasil kalo kita berhenti sebelum sunatullahnya terpenuhi.

Gimana kita tau apakah usahanya udah cukup apa belum? Kecuali kita punya akses langsung ke lauhul mahfudz, ya wallahualam. Tapi saya sering teringat kisah ini. #ehkokkisahlagi

Ada seorang dukun hujan suku Indian yang tariannya selalu berhasil memanggil hujan. Saking canggihnya, beliau dapet job terus. Kalo di dunia film nih, istilahnya: dapet kolingan terus.

Suatu hari beliau ditanya sama kompetitornya: Chief, what is the ultimate secret?

Dan dia menjawab …

“It is simple. I just dance until it rains.”

Maret 13, 2018

Tanya Jawab Penulisan Skenario Film

Berikut adalah hasil pertanyaan dan jawaban selama sesi sharing online bersama Oka Aurora di grup WA Sampit Menulis malam ini.

1. Penulisan skenario samakah Mba dengan penulisan novel?

Jawaban : Konsep dasarnya, bagi saya, sama aja. Saya pasti butuh premis, sinopsis, plot, dan karakterisasi. Tapi teknis penulisannya yang berbeda. Jika novel bebas menuliskan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh tokoh, maka tidak begitu dengan skenario. Skenario hanya mengizinkan penulisnya menuliskan apa yang DILIHAT dan DIDENGAR oleh penonton. Novel mengizinkan penulis untuk menuliskan: “Ia terbang di awan.” Jika ada kalimat ini dalam penulisan skenario, maka ini umumnya akan melibatkan CGI (Computer Graphic Image). Dan ujung-ujungnya berdampak pada pembiayaan. Jadi penulisan skenario itu memang lebih terbatas.
Nanti saya share slide-nya lewat surel ya. Beda penulisan skenario dan novel

2. Apakah penokohan dituliskan di awal skenario (halaman pertama)?

Jawaban : Saya sekarang mewajibkan diri saya disiplin membuat penokohan. Ini berguna untuk membuat pengadeganan dan dialog yang lebih sesuai dengan karakternya. Misalnya, kalau saya tau dari awal bahwa karakternya pemarah, dia gak mungkin akan sabar aja kalau tiba-tiba ada yang mendampratnya. Atau kalau tokohnya adalah seorang cowok pemalu, dia gak akan secara alamiah mengejar-ngejar cewek kayak Dilan ke Milea. Hehehe. Sekadar informasi aja, Mbak Prima Rusdi (salah satu penulis AADC 1) memiliki folder khusus karakter. Beliau cukup rajin mengumpulkan data para tokohnya. Ia bahkan tau apa minuman favorit Cinta. Kalau karakterisasi saya nggak sampai sedetail itu.
Ini juga bisa saya kirim contohnya lewat surel.

3. Untuk setiap scene, apakah dalam skenario dituliskan dengan detail? Misalnya ekspresi wajah dan latar tempatnya.

Jawaban : Oh iya. Harus sedetail mungkin tapi sesingkat mungkin. Tidak pakai kata yang berbunga-bunga tapi harus cukup bisa mengungkapkan rasa. Kalau marah, dia marah seperti apa. Kalau senyum, senyum yang seperti apa. Senyum sinis, senyum miris, senyum usil, itu beda-beda eksekusinya.
Set/lokasi kadang perlu dijelaskan jika ada hubungannya dengan adegan. Jika tidak, misalkan, kita hanya butuh sebuah tempat makan, ya kita sebut saja: INT. RUANG MAKAN, barulah dilanjutkan dengan adegannya. Tapi jika di ruang makan itu kita membutuhkan sebuah cermin (karena cermin itu nanti dibutuhkan untuk adegan), nah ini perlu dijelaskan. Misalnya dengan kalimat: Di salah satu dinding ruangan itu, terpasang sebuah cermin. Nah, untuk adegan-adegan dalam film horor, biasanya properti dalam lokasi dijelaskan sedikit lebih detail.

4. Bagi tips dong Mba agar skenario bisa dilirik sama PH? 😁

Jawaban : Nah ini sebetulnya bukan gak mungkin, tapi agak sulit. Apalagi karena saya masuk ke industri ini lewat pertemanan. Saya belajar sama teman, lalu ia merasa saya bisa bantu beliau menuliskan sebuah skenario. Dari situlah saya masuk ke industri.
Tapi ada teman saya, namanya Haqi Achmad (penulis Meet Me After Sunset), yang memulai karirnya dari blogging. Dan dia rajin twit. Dia rajin colek selebtwit sebelgram dsb. Intinya, dia bersedia networking dengan caranya sendiri. Sementara saat itu dia masih SMA. Dia rajin datang ke acara-acara komunitas. Dan dia rajin kontak-kontak sutradara ini-itu. Saya lupa persisnya gimana, tapi suatu kali dia berhasil meyakinkan seorang sutradara untuk melihat contoh tulisannya. Sutradara itu akhirnya bersedia memberi dia kesempatan menulis. Film pertamanya Radio Galau FM. Jadi saran saya: rajin-rajinlah berjejaring, kenalan dengan produser/sutradara walaupun hanya lewat dunia maya, lalu rajin-rajinlah kirim contoh tulisan. Jangan baper kalau baru ditolak sekali-dua kali. Teman saya ada yang sinopsisnya ditolak sampai 9 kali oleh sebuah PH. Dan sekarang dia jadi penulis FTV di Screenplay.

5. Di antara karya mbak Oka, tokoh mna yg mana menggambarkan kepribadian dari diri mbak oka sendiri?

Jawaban: Waduh. Baru pertama nih ditanya begini. Sepertinya saya paling mirip sama Rene di film 12 Menit. Rene Conway (pelatih sebenarnya dari Marching Band itu) gak segalak itu. Oh! Kalau ada yang kemarin nonton Bunda – Kisah Cinta Dua Kodi, nah saya kira-kira kayak gitu. Sayangnya, cuma galaknya aja yang mirip. Bisnisnya belum. Wahaha.

6. Apakah dalam menulis skenario mbak menentukan juga angle kamera?

Jawaban : Saya baca beberapa skenario (Hollywood) yang menggunakan istilah teknis macam POV, pan, dsb. Tapi saat belajar sama Mbak Titien Wattimena dan Mas Salman Aristo, mereka bilang, sutradara jangan didikte. Pertama, karena belum tentu juga visi kita lebih bagus dari sutradara. Dan kedua, itu memang bukan tugas penulis. Tugas penulis adalah menggambarkan rasa. Sedemikian sampai rasa itu bisa jadi visual/bisa ‘dilihat’ sutradara. Skenario yang baik adalah yang bisa diterima oleh sutradara sebagai rasa/feel.

7. Kalo ujuk2 ngajuin naskah gitu kemungkinan ditanggapinya berapa persen?

Jawaban : Hmmm. Gini deh. Saya usul. Jangan fokus ke Jakarta. Mungkin bisa mencontoh Makassar. Di Makassar, anak-anaknya berkarya di lokal. Mereka berkolaborasi: ada yang bikin cerita dan naskah, dan ada yang pitching (lempar ide ke calon produser)/cari duit. Fokus bikin cerita-cerita yang bisa angkat kekuatan daerah. Cari orang-orang yang mau bikin PH dan punya akses ke pemerintahan/institusi. Kalau tetap mau menembak ke Jakarta, menurut saya gak ada cara seefektif kalau berkenalan dengan orang-orangnya. Industri film itu kecil. Orangnya itu-itu aja. Akan lebih mudah kalau ada referensi. Nah daripada capek nembus Jakarta, fokus di daerah sendiri aja gimana? Udah banyak contoh yang sukses: Jogja, Makassar. Tapi memang harus ada penggeraknya nih. Kalau di Jogja: Ifa Isfansyah dan Hanung. Di Makassar: Riri Riza.

8. Apakah sebuah skenario menggambarkan secara sama persis ketika nanti skenario itu diangkat ke layar (difilmkan)?

Jawaban : Bisa sama persis, bisa juga beda. Kesenjangannya terjadi jika penulis dan sutradara nggak klop visinya. Makanya saya lebih senang kalau sutradaranya membuka jalur komunikasi dengan bahas detail per adegan. Supaya beliau tau apa yang saya bayangkan, apa yang dirasakan dan diinginkan para tokoh, dan apa sebenarnya pesan besar adegan itu. Jadi kalau ada penulis skenario yang kaget saat premier, kok filmnya jadi gini, nah berarti nggak komunikasi sama sutradaranya.

9. Apakah ada perbedaan yang mendasar antara naskah sebuah novel (yang diadaptasi ke sebuah film) dengan naskah skenario?

Jawaban : Mengadaptasi naskah novel itu hukumnya satu: harus tega. Haha. Harus tega mengubah dan membuang yang tidak sejalan dengan kepentingan film. Saya ambil contoh film Danur. Setau saya, judul filmnya aja nggak sama dengan judul novelnya. Lalu, di dalam novel, hantunya ada 9 (bener gak ya?), tapi di film jadi hanya 3 (bener gak ya? Ketauan deh kalo gak nonton). Contoh lain: film Dilan. Di novel nggak ada karakter ibu kantin (siapa namanya ya? Bu Emmy?), tapi di film, tokoh itu diciptakan. Beberapa dialog dipadatkan, walaupun 80% nyaris sama. Karena kalau nggak, kasusnya akan seperti Perahu Kertas. Karena penulis skenario PK adalah novelisnya, dia pasti lebih posesif dibandingkan jika yang nulis adalah penulis skenario profesional (yang gak punya ikatan emosi sekuat itu). Makanya PK terpaksa dipecah jadi 2 film. Karena filmnya jadi 4 jam! Hehehe.

10. Jika di dalam sebuah novel ada alur deduktif (maju), alur induktif (mundur), dan alur deduktif-induktif (campuran), apakah juga ada alur jalan cerita dalam sebuah skenario film?

Jawaban : Ini konteks pertanyaannya masih soal adaptasi novel kan ya? Jawabannya: gak perlu kalau ternyata penyampaian ceritanya jadi gak efisien. Begini, di novel The Devil Wears Prada, seinget saya cukup banyak alur maju-mundur. Tapi saat diadaptasi ke film, filmnya jadi hanya alur maju. Dan ternyata gakpapa juga

11. Bisakah sebuah film mengambil skenario secara penuh dari novel (tanpa ada bagian yang dihilangkan)? Menurut saya sih, nggak bisa. Yang bisa dilakukan adalah memastikan bahwa adegan-adegan besarnya ada, dan pesan utamanya nggak hilang. Dan kalau bisa, tentunya, memasukkan dialog-dialog andalannya.

12. Kalau boleh tahu kan banyak sekarang ini film diadaptasi dari novel-novel, pihak PH biasanya memilih novelnya itu dari segi apa ya mbak?

Jawaban : Biasanya dari judul. Isi baru dilihat belakangan. Kalau judulnya memang semenarik itu tapi isinya kurang, biasanya PH dan novelis akan berdiskusi untuk bikin plot yang lebih kuat. Yang fair tentunya adalah melibatkan novelis. Tapi kadang ada juga PH yang gak mau ribet (dan gak punya etika) yang lalu mengabaikan novelisnya dan bikin plot-plot tambahan sendiri. Tapi intinya, 2 hal yang menarik produser: judul yang catchy (dan sangat ‘jualan’) dan novelnya best selling/nggak

13. Boleh minta referensi judul buku atau ebook guidance menulis skenario film untuk pemula? Saya dari dulu kepengin nulis skenario tapi karena posisi jauh dari kota ga ada kesempatan ikutan kelas atau workshopnya.

Jawaban : Boleh. Saya punya. Nanti saya email ya. Tapi rata-rata dalam Bahasa Inggris ya.

14. Apakah mba oka ingin mencoba menjadi penulis skenario, sutradara sekaligus pemeran utama sebuah film seperti beberapa film yang tayang beberapa waktu lalu dan akan datang ini?

Jawaban : Aaaa… tidak. Saya belum kebayang jadi sutradara. Kayaknya gak tertarik. Karena jadi sutradara itu bebannya gedeee. Saya gak kebayang ngatur puluhan kru yang rata-rata udah berpengalaman (dan umumnya sok tau ngadepin sutradara baru). Bisa bolak-balik berantem saya. Hahaha.

(Narasumber : Oka Aurora, penulis skenario film Bunda : Cinta Dua Kodi, Mata Dewa, Ayah Mengapa Aku Berbeda, Ada Surga Di Rumahmu, Strawberry Surprise, Silariang dan beberapa film layar lebar indonesia lainnya.)

Februari 20, 2018

Diambil dari posting Facebook Sampit Menulis:

Makan #dirumahaja

Menurut seorang ahli marketing, di babak baru nanti, akan semakin banyak keluarga yang hidup dalam kecemasan. Family living in anxiety, judulnya. Demi membuktikan teori itu, beberapa hari lalu, setelah hampir 3 bulan makan di rumah sepanjang hari, kami mencoba makan malam di sebuah resto. Tapi ternyata untuk bisa makan dengan nyaman, perjuangannya lumayan panjang.

Pertama, nggak banyak resto yang masih buka di atas jam 20. Setelah mendatangi dua tempat dan gagal, kami akhirnya terdampar di resto ini yang kebetulan beroperasi sampai jam 22.

Tapi begitu masuk, suasana murung langsung mengepung kami. Bangku-bangku kosong, pegawai dan pengunjung yang cuma segelintir, dan beberapa lampu yang dimatikan membuat kami ikutan masygul. Pegawai-pegawainya (yang tinggal beberapa) kelihatan betul bekerja dengan perasaan tertekan, mungkin karena terbiasa melayani tamu dengan suasana yang jauh lebih meriah.

Saat menunggu makanan datang, kami sama sekali nggak melepas masker. Ngobrol pun jadi susah. Begitu pun dengan suasana di meja lain. Semua mengenakan masker. Semua duduk berjauhan dengan gestur kencang.Lalu, saat makanan dan minuman datang, kami sibuk membersihkan ulang tepian piring saji, permukaan gelas, dan alatalat makan. Semua kerepotan itu nggak sebanding dengan durasi makan yang terpaksa disingkat supaya kami nggak berlama-lama di sana. Belum jam 21 saja rasanya seperti sudah larut sekali.

Besok-besok, ya sudahlah. Makan #dirumahaja kayaknya malah lebih meriah.

PS: Kaus kembaran kami itu Alayka yang buat. Hasil mantengin Tiktok.

Juni 10, 2020

Diambil dari posting Facebook:

❤ 3 children 🌼 4 novels 📽 14 feature films ☀ 2 webseries 💌 okaaja@gmail.com